Sunday, July 15, 2007

berbagi sejarah di hari kedua



Workshop kritik film Mari Menonton di hari kedua membahas dua agenda penting yaitu sejarah film dan perfilman, dalam skala nasional maupun internasional serta kritik film.
  • Sejarah perfilman Indonesia

Dimulai dari kondisi perfilman tahun 1950-1960, ketika usaha membuat film sering mengalami kegagalan. Pada awal orde baru tahun 1967, pertarungan ideologi semakin meruncing, sangat jelas terlihat dalam penggunaan terminologi kiri dan kanan yang ketat. Contoh kasus adalah film Warkop DKI yang beredar di pasaran Kanan Kiri Oke, telah melewati Lembaga Sensor Film dengan perubahan yang "signifikan" pada judulnya. Sebelumnya ia berjudul Kiri Kanan Oke!

Film sebagai media propaganda politik dibuat sedekat mungkin dengan penonton melalui ajang layar tancap. Kemunduran terus terjadi sampai pada tahun 1992, Festival Film Indonesia bubar karena animo perfilman nasional yang mengecewakan, hanya 5 film yang mendaftarkan diri ketika itu. Banyak sekali ancaman bagi pembuat film di era orde baru, tidak melulu hanya masalah sensor dari departemen penerangan, tetapi juga wacana bahwa film komersil bukanlah film yang baik.

  • penulisan kritik film

Penekanan pertama bagi para kritikus film adalah jangan ragu untuk bersikap subyektif. Pendekatan penulisan kritik film ada beberapa macam, yaitu scene analysis, film analysis, research paper, populer review. Scene analysis sifatnya deskriptif, membahas adegan per adegan yang ada di film. Film analysis, titik beratnya berada pada masalah pattern. Mengingat sifat film sebagai sesuatu yang berurutan, maka pola adalah bagaimana memandang keseluruhan film dari awal sampai akhir dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya. Keseluruhan dari film itu dituliskan secara deskriptif. Research paper, menbahas film secara tekstual dan kontekstual, sedangkan popular review bersifat argumentatif atau bahkan persuasif.




Tugas yang diemban oleh penulis kritik fim "hanyalah" membuat orang ingin menonton film yang ditulis atau bahkan membuat orang percaya bahwa film yang sedang diulas buruk. Sebuah penekanan terhadap fungsi penulisan kritik ketika menilai demi kemajuan perfilman itu sendiri.

apa itu film? mengapa ingin menulis tentangnya? bahasan hari pertama

Agenda pertama Workshop Kritik Film Mari Menonton di Kinoki membahas tentang apa itu film. Film adalah sekedar gambar yang bergerak, adapun pergerakannya disebut sebagai intermitten movement, gerakan yang muncul hanya karena keterbatasan kemampuan mata dan otak manusia menangkap sejumlah pergantian gambar dalam sepersekian detik. Film menjadi media yang sangat berpengaruh, melebihi media-media yang lain, karena secara audio dan visual dia bekerja sama dengan baik dalam membuat penontonnya tidak bosan dan lebih mudah mengingat, karena formatnya yang menarik.



Proses pembuatan film melalui tiga tahap; pra produksi, produksi, dan pasca produksi. Tiga hal ini tidak melulu harus berurutan seperti diatas, bisa dibolak-balik tergantung kebutuhan pengerjaan film. Pra produksi mencakup penulisan ide sampai menyiapkan sinopsis atau cerita. Kemudian tahap produksi (syuting) akan melaksanakan semua yang sudah dipersiapkan pra produksi. Dan yang terakhir adalah pasca produksi yang akan merangkai semua yang ada dari pra produksi dan produksi. Proses yang paling berat adalah pra produksi, bahkan sering dikatakan ketika pra produksi selesai maka film itu sudah 70% jalan dan kedua proses selanjutnya tinggal melanjutkan 30%.


Melewati proses pembuatan film, Alex Sihar dari Konfiden membawa forum ke pembahasan selanjutnya, yaitu film sebagai media. Film dapat dikategorikan sebagai sebuah media dengan membawa seni paling banyak (seni suara, musik, drama, menulis, lukisan, dan fotografi) yang dicecap oleh hampir semua indera mausia.

  • Jenis Film dan perkembangannya

Film dapat dibagi berdasarkan beberapa hal. Pertama, film dibedakan berdasarkan form atau media, yang kemudian dikategorikan menjadi live, action, dan animation. Yang kedua, film dibagi berdasarkan jenisnya, yaitu film fiksi dan non fiksi. Film fiksi sendiri dibagi lagi menjadi dua jenis, yaitu eksperimental dan genre. Film non fiksi dibagi menjadi tiga, yaitu film dokumenter, dokumentasi dan film untuk tujuan ilmiah.

Jumlah film dokumenter dan film pendek (tahun 2006) sekitar 1500 judul, tapi tidak banyak yang sampai ke penonton. Kritik merupakan kedudukan dalam mereview sebuah film, sehingga ketika kritik akademik ataupun jurnalistik menjadi produk, maka logikanya penonton pun akan menjadi lebih baik. Penonton menjadi semakin melek terhadap bahasa visual (visual literate). Di sisi distribusi, kedudukan review dan iklan film sangat penting. Ia menjadi signifikan dalam melihat penambahan jumlah penonton.

  • Perfilman dunia

Bagaimanakah melihat perfilman dalam konteks (kebijakan) negara berdasarkan fungsi film. Film dipandang sebagai komoditas industri oleh Hollywood, Bollywood dan Hongkong. Di sisi dunia yang lain, film dipakai sebagai media penyampai dan produk kebudayaan. Hal ini bisa dilihat di negara Prancis (sebelum 1995), Belanda, Jerman, dan Inggris. Dampak dari pembagian ini, film akan dilihat sebagai artefak budaya yang harus dikembangkan, kajian film membesar, eksperimen-eksperimen pun didukung oleh negara. Kelompok terakhir menempatkan film sebagai aset politik guna media propaganda negara. Hal ini sering dijumpai di negara-negara otoriter, seperti Rusia, Cina, Indonesia, Afganistan, dll. Film berada di bawah pengawasan departemen penerangan dan konsep sensor film berkembang disini. Obrolan ini berlanjut pada fungsi sensor film dalam sebuah negara yang tidak selalu difungsikan dengan baik, atau adanya perlakuan yang berlebihan terhadap sebuah karya yang telah dihasilkan.